Perjalanan Harapan Dalam Segugus Puisi Moon Changgil
Kumpulan Puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" Moon Changgil
Perjalanan Harapan Dalam Segugus Puisi Moon Changgil
Oleh: Hilman Maulana Sanjaya
Judul : Apa Yang Diharapkan Rel Kereta Api
Penulis : Moon Changgil
Penerjemah : Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah
Tahun Terbit : Desember, 2021
Tebal Halaman: 116+ x halaman
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Dalam pembukaan buku kumpulan Puisi karya Moon
Changgil, penyair mengatakan bahwa dirinya berusaha meyakini bahwa “Pena adalah
senjata”, maka pembaca mungkin secara tidak langsusng melihat puisi Moon
Changgil sebagai senjata dalam bentuk bahasa
di era milenial yang dapat menyayat kesadaran pembaca. Puisi-puisi Moon
Changgil sangat eksplisit menyuguhkan bentuk-bentuk ketimpangan sosial dalam
tatanan masyarakat Korea. Orang-orang yang termarginalkan oleh kondisi ekonomi,
hak asasi manusia, dan perdamaian yang entah bagaimana kondisinya sehingga
terlahir kumpulan puisi-puisi getir yang lebih menekankan kehidupan orang-orang
termaginalkan itu.
Puisi sebagai karya sastra mungkin hanya bisa memberi
gambaran dan mencoba menyentuh nurani paling dalam dari diri manusia,
sebagaimana puisi-puisi Moon Changgil yang bersuara bahwa dunia ini tidak
baik-baik saja, bahwa Korea yang selama ini dikenal oleh Masyarakat Indonesia
sebetulnya sama-sama mengalami keterpurukan dari zaman ke zaman. Keterpurukan
itu dapat ditemui dalam gugusan puisi Moon Changgil yang terhimpun di dalam
buku Apa Yang Diharapkan Kereta Api, salah satunya adalah puisi dengan judul Anak
Perempuan Yang Cerah. Harapan dan keterpurukan keadaan disuguhkan oleh bahasa
puisi yang lembut dan memungkinkan dapat membuka perasaan pembaca yang mungkin
selama ini tertutup.
ANAK PEREMPUAN YANG CERAH
−Harapan Bapak Gilyong
Menatap punggung rapuh istri
sewaktu
pergi ke pabrik dini hari
harapan samar-samar bagai berdenting
dalam
kepalan tangan mungil anak perempuan lima tahun
yang berjalan terburu-buru di belakang
ibunya
(Hlm, 3)
Di bait pertama, gambaran mengenai suami yang hendak
pergi bekerja, cukup keterpurukan yang mungkin saja hanya ditemui penikmat
budaya Kpop dalam drakor tapi tidak semua drakor menggambarkan kemiskinan
seperti dalam puisi Anak Perempuan Yang Cerah yang meminjam sudut pandang
bagaimana seorang buruh pabrik hendak pergi bekerja, Menatap punggung Rapuh
istri/sewaktu pergi ke pabrik dini hari/ dalam dua larik pertama puisi menjelaskan kondisi
punggung istrinya yang rapuh, rapuh dalam larik ini memungkan pembaca memiliki
tafsir beragam ketika membayangkannya. Mungkin saja membayangkan ada sebuah
kondisi yang sulit sampai merampas kekokohan punggung istrinya, sehingga
punggung tersebut selalu rapuh dimakan usia. Selain itu, terdapat pula
penggambaran keluarga miskin yang memiliki anak kecil di rumah, sehingga
perjalanan harapan untuk mendapat kehidupan yang lebih baik menjadi inti
perasaan dalam puisi berdiri kokoh.
harapan
samar-samar bagai berdenting/dalam kepalan tangan mungil anak perempuan lima
tahun. Perjalanan harapaan tersebut diperkuat pada dua larik berikutnya
dengan kemunculan anak kecil, yang mungkin mengantar kepergian ayahnya menuju
pabrik. Namun penggambaran harapan, ditempatkan pada kepalan tangan anaknya
yang berusia lima tahun datang menghampiri. Penggunaan metafora dan imaji bunyi
seolah harapan berdenting dalam kepalan anaknya juga memperkuat konteks
‘harapan’ itu sendiri sebagai sesuatu yang sangat layak untuk diperjuangkan.
…
“Papa, Mau Jajan,”
katanya sambil
tergesa menarik tangan kasar ayahnya
menuju supermarket
Harapan di atas bukit.
Kamu adalah buah
cinta kasihku
dan sayap mimpi
yang tak berujung.
…
(hlm, 4)
Perubahan sudut
pandang di bait terakhir sebetulnya cukup membuat beberapa pertanyaan. Sebab
yang pada mulanya menggunakan sudut pandang ke tiga, berubah menjadi sudut
pandang orang pertama, akan membuat puisi memiliki kemungkinan lain mengenai
siapa aku lirik dalam puisi dan subjek yang dimaksud. Akan tetapi pembaca hanya
bisa berasumsi, mungkin saja aku lirik adalah penyair yang menyaksikan
peristiwa mengharukan Bapak Gilyoung dan anak perempuannya. Secara keseluruhan
puisi tersebut mewakili besarnya harapan seorang bapak untuk bekerja demi
anaknya. Bentuk-bentuk cinta seorang ayah yang kesusahan finansial kepada
anaknya, kurang (bukan berarti tidak ada) disoroti oleh para penyair. Namun
dengan kehadiran puisi-puisi Moon Changgil dengan gaya puisinya yang seolah
kental akan peristiwa menghadirkan bentuk cinta tersebut.
Diksi yang digunakan untuk menggambarkan
ketimpangan sosial dalam puisi-puisi Moon Changgil dalam buku kumpulan Puisi
Apa Yang Diharapkan Kereta Api juga memiliki takaran yang pas. Tidak banyak
simbol-simbol yang harus dikaji mendalam sekali, dengan melihat struktur
puisi-puisinya, pembaca akan langsung memahami maksud puisi tersebut. salah
satu keunggulan lainnya adalah konteks yang disampaikan mendalam sampai
akar-akar kehidupan orang-orang marginal di Korea, Moon Changgil membungkus
konteks tersebut dalam rangkaian peristiwa yang ada di puisi.
AYAHKU
…
Aku menyadari kemajuan buruh
adalah fondasi kemajuan negara
dan percaya pada harapan keluarga yang
Ayah lindungi
sehingga aku memberikan semangat berjuang
dengan kepalan tangan
Lalu Ayah
tersenyum
menunjukkan
deretan gigi kuning di wajahnya yang hitam
dia menggosok kulit gadis kecilnya yang
baru tumbuh remaja
dengan kumisnya yang kasar.
…
(hlm
14)
Puisi
dengan Judul Ayahku merupakan puisi yang cukup panjang dengan rangkaian
peristiwa yang dinarasikan oleh penyair. Dengan bahasa puisi yang sedikit
bernarasi mengenai peristiwa sang ayah sebagai buruh pabrik, memberikan imaji
lebih kepada pembaca. Dalam kutipan kedua bait di atas, pembaca dapat melihat
adanya keinginan untuk menyuarakan adanya ketimpangan yang diakibatkan oleh
kekuasaan. Penyampaian gagasan yang digunakan dalam puisi menggunakan rangkaian bahasa cukup halus,
tidak provokatif sebagaimana ketika dihadapkan dengan puisi Rendra di
Indonesia.
Alih-alih
memprovokasi pembaca, penyair kembali menghadirkan peristiwa mengenai dampak
kekauasaan. Lalu Ayah tersenyum/menunjukkan deretan gigi kuning di wajahnya
yang hitam/ larik pertama dan kedua di bait tersebut cukup eksplisit
menjelaskan kemiskinan. umumnya kemiskinan dan kemelaratan digambarkan dengan
visual yang menjijikan. Moon Changgil berhasil memotret itu dan mengabadikannya
dalam puisi. Gigi kuning menjadi penanda orang miskin yang dimaksud oleh
penyair. Sebagaimana deretan gigi kuning sering ditemui dalam film korea yang
tokohnya adalah orang miskin. Gigi kuning dan wajah hitam menjadi penanda bahwa
subjek yang dimaksud tidak dapat menurus dirinya sendiri. Dan kondisi tersebut
terjadi bukan karena tidak mau mengurus diri, melainkan pandangan sosial
melihat orang miskin adalah mereka yang tak mampu merawat diri sendiri karena
tidak memiliki biaya.
Rangkaian peristiwa kemiskinan,
penindasan, dan bentuk perjuangan untuk mendapatkan hak asasi manusia sangat
kental dalam kumpulan puisi Moon Changgil dalam buku Apa Yang Diharapkan Rel
Kereta Api. Gagasan penyair yang mencoba menulis puisinya sebagai senjata
mengahdapi hegemoni Korea Selatan menjadi benda tajam yang menusuk kesadaran
pembaca. Mungkin saja setelah membaca kumpulan puisi Moon Changgil, ada
kesadaran bahwa dunia tidak baik-baik saja. Sekali lagi, meski mengetahui bahwa
puisi-puisi Moon Changgil merupakan puisi yang mengangkat dampak-dampak dari
hegemoni tidak memberatkan pembaca. Bahasa yang digunakan sangat halus dan
memfokuskan pada peristiwa-peristiwa inti dari keluarga yang miskin.
Tentu saja penyampaian gagasan yang dapat diterima
secara baik dalam bahasa puisi tidak lepas dari adanya kerja penerjemahan.
Menerjemahkan bahasa korea ke dalam bahasa Indonesia bukanlah hal yang mudah.
Kerap kali ditemukan adanya perbedaan konsep menamai peristiwa, benda,
percakapan, dan lain hal. Sebagai penerjemah, Kim Young Soo dan Nenden Lilis
Aisyah nampaknya berkolaborasi menggabungkan hal-hal yang mungkin memiliki
keterkaitan makna dari bahasa Korea ke dalam bahasa Indonesia. Latar belakang
Kim Young Soo sebagai penerjemah bahasa Korea ke Indonesia tidak diragukan
sebab dalam biografinya, penerjemah memiliki penelitian-penelitian mengenai
indonesia. Seperti The Haecho’s Journey: A Monk of Shilla’s Kingdom Korea to
Sriwijaya Kingdom. Sebelum menerjemahkan puisi-puisi Moon Changgil, nampaknya
Kim Young Soo sudah berkolaborasi dengan Nenden Lilis Aisyah menerjemahkan puisi
karya Choi Jun, Orang Suci dan Pohon Kelapa.
Kolaborasi dengan Nenden Lilis Aisyah juga merupakan
duet yang mengasilkan segugus karya puisi lebih dalam dan mudah dipahami
konteksnya oleh para pembaca dari Indonesia. Sebagaimana yang sudah diketahui
bahwa Nenden Lilis adalah penyair yang sudah menggaet berbagai penghargaan,
karya-karyanya juga sudah tersebar dalam antologi kanon sastra Indonesia.
Sebagai penyair, Nenden Lilis Aisyah mupuni menangkap makna yang disampaikan
Moon Changgil sehingga puisi-puisi dalam buku Apa Yang Diharapkan Rel Kereta
Api dapat diterima secara logika kebahasaan oleh pembaca dari Indonesia. Duet
penerjemahan dari ahli bahasa Korea dan sastra Indonesia memang membuat buku
Apa Yang diharapkan Rel Kereta Api tidak diragukan sebagai kumpulan puisi yang
memperlihatkan perjalanan harapan dalam pemerintahan yang menghegemoni.
Puisi-puisi Moon Changgil adalah saura-suara orang-orang marginal di Korea.
Komentar
Posting Komentar